Aneh ! Mata Air Baru di Banyuanget: Rahmat dari Bawah Pohon Ringin
Tirtomoyo,Wonogiri MR — Warga Dusun Banyuanget, Desa Tanjungsari, Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri, waktu lalu oleh kemunculan sebuah mata air dari bawah akar pohon ringin (banyan) yang selama ini tidak pernah ada.
Mata air tersebut kini telah mengaliri hampir 20 hektar lahan pertanian, sekaligus memenuhi kebutuhan air sehari-hari warga.
Mata air itu muncul secara alami di satu titik di sekitar pohon ringin besar di dusun Banyuanget. Sumber air segar ini sekarang dialirkan ke sawah-sawah, sekaligus dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga warga seperti memasak, mandi, dan mencuci.
Tak hanya itu, warga juga mulai memanfaatkan air ini untuk usaha perikanan. Dalam satu tahun, mereka bisa melakukan panen ikan tiga kali, berkat suplai air yang cukup stabil dari mata air tersebut. Selain padi, komoditas tanaman lain yang berhasil dipanen adalah singkong.
Lasmi, seorang petani lokal, menceritakan bahwa setelah panen, dia tidak menyia-nyiakan jerami sisa panen padi, melainkan dijadikan pakan ternak. Meskipun lokasi sawahnya sekitar 1 km dari rumahnya, jerami tetap dimanfaatkan.
Mbah Dirin, warga lainnya, juga berhasil memanen kacang tanah. Sedangkan Sutiyem (Tiyuk) yang sehari-hari menjaga dan “menungguin” burung agar daerah pertaniannya tidak terganggu, harus rela menjalani kerja keras ekstra di musim panen untuk menjaga tanaman dari hama burung.
Partoyo, warga lain yang sudah lama mengolah sawah di Banyuanget, menyebut bahwa saat ini selain menanam padi, dia juga sudah memanen singkong di lahan yang sama.
Keberhasilan penggunaan mata air ini juga didukung oleh infrastruktur irigasi yang sudah dibangun sebelumnya.
Di antaranya adalah saluran irigasi, bendung, dan saluran yang dikenal dengan nama “Kedung Lowo”. Proyek ini adalah bagian dari Proyek Inpres No. 2 tahun 1982, yang diresmikan pada tanggal 2 September 1983 oleh Gubernur Jawa Tengah saat itu, Bapak Ismail.
Bendung dan saluran Kedung Lowo berperan penting agar aliran air dari mata air dapat disalurkan merata ke sawah-sawah dan tidak terbuang sia-sia atau bocor ke area yang tidak produktif.
Dampak Sosial dan Ekonomi :
Ketahanan pangan lokal meningkat: Dengan adanya kebutuhan air yang terpenuhi, panen padi dan tanaman seperti singkong dan kacang tanah dapat rutin dilakukan, tiga kali panen ikan dalam setahun juga memberi tambahan sumber gizi dan penghasilan.
Penghematan biaya dan tenaga: Warga tidak perlu lagi membeli air atau menunggu pasokan dari sumber yang jauh. Air bersih untuk rumah tangga sudah tersedia di dekat tempat tinggal. Jerami hasil panen pun dimanfaatkan, mengurangi limbah dan memperkuat ekonomi peternakan lokal.
Pemberdayaan masyarakat: Karena akses air yang lebih mudah, warga bisa lebih fleksibel dalam merencanakan tanamannya, mengatur siklus panen, dan mengelola lahan yang sebelumnya mungkin terbatas karena kekeringan atau keterbatasan air.
Warga berharap pihak desa atau pemerintah kabupaten bisa membantu meningkatkan infrastruktur pendukung seperti perbaikan saluran irigasi tambahan, pembuatan tangki atau penampungan air, serta pelatihan tentang cara bercocok tanam dan budidaya perikanan yang lebih efisien.
Dengan potensi besar yang kini muncul, Banyuanget bisa menjadi contoh desa mandiri dalam hal air dan pertanian sebuah bukti bahwa kekayaan alam yang kecil bisa membawa perubahan besar apabila dikelola dengan baik.( Sunaryo / Pimred Cahyospirit )
















